Selama setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla,
pertumbuhan ekonomi melambat, diperkirakan tidak mencapai 5 persen. Laju
pertumbuhan ekonomi sebesar ini tidak mampu menekan angka pengangguran dan
kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, dalam lima-enam bulan
pertama pemerintahan Jokowi-JK, angka pengangguran dan kemiskinan meningkat
signifikan. Kemudian Joko Widodo-Jusuf Kalla membuat
keputusan tidak populis, yaitu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Dari
kaca mata ekonomi, langkah ini dianggap tepat karena menghilangkan subsidi BBM
yang membebani defisit neraca transaksi berjalan. Perlambatan ekonomi yang terjadi
di kuartal terakhir tahun ini, tidak mengubah pendirian pemerintah untuk
menaikkan harga minya. Untuk itu pemerintah telah meluncurkan sejumlah program jaring
sosial seperti peluncuran Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat
(KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) bagi masyarakat kurang mampu.
Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan
Bank Indonesia (BI) tidak segera berkoordinasi untuk mencegah dampak
perlambatan ekonomi global yang sudah mulai menggerogoti perekonomian nasional.
Sejumlah paket stimulus ekonomi baru diluncurkan setelah ekonomi Indonesia
terkena dampak yang cukup serius.
Potensi tumbuh Indonesia sangat besar meski
kondisi ekonomi global masih diwarnai ketidakpastian. Menurut BPS, Indonesia
memiliki sekitar 170 juta atau 68% penduduk usia produktif. Bonus demografi ini
belum dimanfaatkan dengan optimal. Begitu pula dengan kelas menengah yang
mencapai sekitar 60 juta. Jika pemerintah memiliki kebijakan yang tepat dan
pengelolaan yang baik, ekonomi Indonesia mestinya bisa bertumbuh di atas 6%.
Namun karena kecenderungan bias ke bawah tersebut terutama disebabkan oleh
perkiraan ekonomi AS yang tidak setinggi perkiraan semula dan ekonomi Tiongkok
yang masih melambat. Di pasar keuangan
global, ketidakpastian kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS, gejolak
di Uni Eropa, serta anjloknya harga saham di Tiongkok menunjukkan risiko di
pasar keuangan global masih tinggi.
Sebagai dampak perkembangan ekonomi global
tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga triwulan II 2015 masih melambat,
yakni sebesar 4,67% (yoy), menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
sebesar 4,72% (yoy). Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2015 yang masih
melambat ini terutama akibat melemahnya pertumbuhan investasi, konsumsi
pemerintah, dan konsumsi rumah tangga.
Dari sisi eksternal, ekspor tumbuh terbatas
seiring dengan pemulihan ekonomi global yang belum kuat dan harga komoditas
yang masih menurun. Di sisi lain, pertumbuhan impor terkontraksi lebih dalam
sejalan dengan lemahnya permintaan domestik.
Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia pada
semester I 2015 mencatat surplus, terutama ditopang oleh surplus neraca
nonmigas. Surplus neraca perdagangan tersebut mendorong perbaikan defisit
transaksi berjalan pada triwulan II 2015 yang lebih baik dari prakiraan
sebelumnya yaitu 2,5% dari PDB, dan lebih baik dari periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar 3,9% dari PDB.
Nilai tukar rupiah mengalami depresiasi, terutama
dipengaruhi faktor eksternal. Pada Juli 2015, rupiah melemah ke level Rp 13.311
per dolar AS dari sebelumnya di kisaran Rp 12.025 pada hari pertama
pemerintahan Jokowi-JK. Angka ini bahkan terus merosot hingga hampir mencapai
Rp 14.800 pada bulan September 2015. Beruntung, kondisi ekonomi global dan
kerja keras pemerintahan Jokowi-Jk berhasil memperkokoh nilai rupiah kembali ke
kisaran Rp 13.500 pada pertengahan bulan Oktober 2015.
Sejalan dengan pergerakan rupiah, perkembangan
harga saham juga mengalami tekanan. Pada awal November 2014 Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) tercatat sebesar Rp 5.085,51
merosot menjadi Rp 4.120,5 di
akhir September 2015 akibat derasnya arus modal asing yang keluar dari Bursa
Efek Indonesia. Tapi rangkaian Paket Kebijakan Ekonomi pemerintah yang
diterbitkan sejak 9 September 2015 telah membawa persepsi positif kepada
investor pasar modal, sehingga IHSG naik kembali menjadi Rp 4.591,91 pada 19
Oktober 2015.
Sebagai akibat kebijakan penyesuaian harga BBM
pada bulan November 2014, inflasi melonjak menjadi 8,36 % (yoy) pada akhir
tahun 2014. Melalui kebijakan pengendalian harga pangan dan harga barang yang
diatur oleh pemerintah, tingkat inflasi secara bertahap menurun. Pada bulan
September 2015 inflasi menjadi 6,83% (yoy) atau 2,24% (ytd). Dengan
pengendalian inflasi yang ketat hingga di tingkat Pemerintah Daerah, maka inflasi diperkirakan di kisaran 4%pada akhir
tahun 2015. Penurunan inflasi sebagian disebabkan melemahnya daya beli
masyarakat akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi khususnya di wilayah
pertambangan dan perkebunan.
Perekonomian diperkirakan mulai meningkat pada
triwulan III dan berlanjut pada triwulan IV 2015. Peningkatan tersebut didukung
oleh akselerasi belanja pemerintah dengan realisasi proyek-proyek infrastruktur
yang semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan berbagai upaya khusus yang dilakukan
pemerintah untuk mendorong percepatan realisasi belanja modal, termasuk dengan
menyiapkan perangkat aturan yang diperlukan. Sementara itu, konsumsi juga
diperkirakan membaik, seiring dengan ekspektasi pendapatan yang meningkat dan
penyelenggaraan Pilkada serentak pada triwulan IV 2015.
Paket
Kebijakan Ekonomi
Terhadap dinamika ekonomi (politik) global yang
sedang terjadi, kapasitas kita memang terbatas. Karena itu yang bisa dilakukan
adalah melakukan pembenahan dari dalam. Membenahi berbagai regulasi sebagai
bagian dari wilayah otoritas dan tanggung jawab pemerintah untuk mendorong
mesin ekonomi bergerak kembali.
Ibarat mesin mobil, sudah waktunya kita melakukan
overhaul: mengganti dan membuang spare parts lama yang aus, rusak, atau yang
performanaya tak bagus lagi. Dan menggantinya dengan komponen baru yang segar
dan sesuai kebutuhan serta pelumas yang berkualitas agar mesin bisa bergerak
lebih cepat dan lincah, bahkan ketika berada pada medan yang sulit.
Maka kalau kita perhatikan, Paket Kebijakan
Ekonomi yang dikeluarkan sejak 9 September 2015, berupaya untuk menyentuh
berbagai aspek. Tujuannya untuk menangkal perlambatan ekonomi yang disebabkan
oleh kondisi ekonomi global dan domestik dengan cara memperbaiki struktur
ekonomi yang lebih kondusif bagi berkembangnya industri, kepastian berusaha di
bidang perburuhan, kemudahan investasi, memangkas berbagai perizinan serta
memperluas akses masyarakat untuk mendapatkan kredit perbankan.
Berbagai upaya deregulasi yang tertuang dalam
Paket Kebijakan Ekonomi ini membuat kepercayaan pasar mulai membaik. Ini
terlihat dari pergerakan nilai tukar yang semakin stabil, meminimalisasi
pemutusan hubungan kerja (PHK) dan iklim ekonomi (kegiatan berusaha) yang lebih
kondusif.
Pemerintah juga berupaya agar penyerapan anggaran
bisa ditingkatkan. Kalau pada semester I tahun 2015, penyerapan anggaran baru
mencapai Rp 436,1 triliun atau 33,1 persen dari pagu Rp 1.319,5 triliun, maka
pada bulan September 2015, penyerapan anggaran sudah di atas 60 persen. Menurut
Menteri keuangan, hingga akhir tahun pemerintah optimistik penyerapan anggaran
bisa mencapai 94-95 persen.
Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan
pemerintah untuk mendorong perbaikan ekonomi antara lain: Di bidang
perdagangan, pemerintah telah meluncurkan Indonesia National Single Window
(INSW) yang diperbarui, sehingga siapa pun dapat memantau keluar-masuk barang
ekspor-impor melalui satu sistem. Dengan demikian akurasi data dan informasi
kepabeanan dapat dipertanggung-jawabkan dengan transparan atau dapat diakses
oleh semua pihak yang berkepentingan.
Semua perizinan, dokumen, data, dan informasi
lain yang diperlukan dalam pelayanan dan pengawasan kegiatan ekspor impor dan
distribusi kini sudah harus dilakukan melalui Indonesia Nasional Single Window
(INSW). Melalui INSW, tidak akan ada lagi
proses birokrasi yang dilakukan secara manual dan tatap muka yang selama
ini menjadi hambatan kelancaran arus barang, bahkan membuat distorsi yang
membebani daya saing industri dan
melemahkan daya beli konsumen.
Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, INSW
adalah wujud nyata pelayanan birokrasi modern yang dalam waktu singkat dapat
melaksanakan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang diumumkan Presiden
pada tanggal 9 September 2015. Portal ini mengintegrasikan semua pelayanan
perizinan ekspor/impor secara elektronik pada 15 Kementerian/Lembaga yang
meliputi 18 Unit Perizinan.
“INSW merupakan salah satu bentuk fasilitasi
perdagangan yang saat ini memegang peran kunci, tidak saja dalam mendukung
kelancaran perdagangan intra ASEAN dan cross border trade Indonesia dengan
negara lain, tetapi juga sebagai bentuk reformasi birokrasi dalam pelayanan
publik untuk kegiatan ekspor/impor, kepabeanan, dan kepelabuhanan,” ujar
Darmin.
Dengan pelayanan perizinan dan non perizinan
melalui sistem elektronik, INSW diharapkan dapat meningkatkan kepastian usaha
dan efisiensi dalam kegiatan ekspor, kebutuhan industri dan investasi, serta
mengoptimalkan penerimaan negara dari kegiatan perdagangan internasional.
Di bidang energi, pemerintah telah menurunkan
harga solar sebesar Rp 200 pada Oktober 2015 ini. Selain itu, pemerintah juga
mendorong nelayan untuk beralih dari penggunaan bahan bakar solar menjadi bahan
bakar gas. Pemerintah juga memberi diskon tarif listrik bagi industri antara
jam 23.00-08.00 WIB.
Di bidang perbankan, pemerintah memberikan akses
yang lebih luas bagi masyarakat, terutama golongan kelas menengah-bawah untuk
mendapatkan akses ke sistem perbankan melalui fasilitas Kredit Usaha Rakyat
(KUR) dengan bunga rendah, yakni 12 persen. Tak cuma itu, melalui Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk mendukung UKM yang berorientasi ekspor
atau yang terlibat dalam produksi untuk produk ekspor, pemerintah juga
memberikan fasilitas pinjaman atau kredit modal kerja dengan tingkat bunga yang
lebih rendah dari tingkat bunga komersial. Fasilitas ini terutama diberikan
kepada perusahaan padat karya dan rawan PHK.
Untuk menarik investor, terobosan kebijakan yang
dilakukan pemerintah adalah memberikan layanan cepat dalam bentuk pemberian
izin investasi dalam waktu 3 jam di Kawasan Industri. Dengan mengantongi izin
tersebut, investor sudah bisa langsung melakukan kegiatan investasi. Kriteria
untuk mendapatkan layanan cepat investasi ini adalah mereka yang memiliki
rencana investasi minimal Rp 100 miliar dan atau rencana penyerapan tenaga
kerja Indonesia di atas 1,000 (seribu) orang.
Di bidang fiskal, pemerintah menyediakan
fasilitas pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan mulai dari 10 hingga 100
persen untuk jangka waktu 5-10 tahun (tax holiday). Persyaratan penerima tax
holiday adalah wajib pajak baru yang berstatus badan hukum, membangun industri
pionir dengan rencana investasi minimal Rp 1 triliun, rasio utang terhadap
ekuitas (debt equity ratio) 1:4, serta mengendapkan dana di perbankan nasional
minimal 10 persen dari total rencana investasi hingga realisasi proyek.
Yang disebut industri pionir meliputi industri
logam hulu, pengilangan minyak bumi, kimia dasar organik, industri permesinan,
industri pengolahan berbasis pertanian, kehutanan dan perikanan, industri
telekomunikasi, informasi dan komunikasi, transportasi kelautan, industri
pengolahan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan infrastruktur.
Insentif fiskal lainnya yang ditawarkan
pemerintah adalah pengurangan penghasilan netto sebesar 5 persen setahun selama
enam tahun sebagai dasar pengenaan PPh badan (tax allowance). Fasilitas ini
berbeda dengan tax holiday karena tidak mengurangi tarif PPh badan sebesar 25
persen, tetapi mengurangi penghasilan kena pajak maksimal 30 persen selama enam
tahun. Tax allowance juga memperhitungkan penyusutan dan amortisasi yang
dipercepat, pemberian tambahan jangka waktu kompensasi kerugian, serta mengurangi
10 persen tarif PPh atas dividen yang dibayarkan kepada wajib pajak di luar
negeri.
Pada sektor perburuhan, kebijakan untuk
menerapkan formula pada penghitungan Upah Minimum juga disambut baik karena
memberikan kepastian, baik kepada pengusaha maupun buruh, tentang kenaikan upah
yang bakal diterima buruh setiap tahun dengan besaran yang terukur.
Beberapa contoh deregulasi yang telah dilakukan
itu menunjukkan konsistensi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
melalui berbagai upaya penyederhanaan peraturan dan perizinan, kemudahan
berinvestasi, serta mendorong daya saing industri. Pada saat yang sama,
pemerintah juga terus berupaya meningkatkan kegiatan produktif dan daya beli
masyarakat melalui berbagai kebijakan yang pro rakyat. Bersama-sama BI dan
Otoritas Jasa Keuangan, pemerintah bekerja dan hadir untuk memulihkan
kepercayaan pasar.
Kementerian Koordinator Perekonomian sendiri
sudah mengalami pergantian pimpinan selama masa satu tahun pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla. Darmin Nasution baru menjabat sebagai Menko Bidang Perekonomian pada
12 Agustus 2015 menggantikan Sofyan Djalil yang bergeser posisi menjadi Menteri
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas.